"Kopi Air Hujan" Slank |
Kelak kan menjadi barang
Menadahkan tangan di jalanan
Kelak kan menjadi uang
Pasang tampang pasang aksi
Itupun menghasilkan
Gak ada tangis bayi kelaparan..
Gak ada dentuman meriam..
Di kampung di kota orang sibuk pada bisnis
Banyak yang punya rekening di negri swiss
Pembokat sekarang pada modis-modis
Pengemis aja mudik carter bis
Hidup di alam yang ramah
Di atas tanah subur & kaya
Gak usah pake banyak tenaga
Mikir sedikit pasti jalan!!
Hidup senang gak ada perang
Makan kenyang ngapain ribu-ribut ??
Ketika Anda naik bis kota, atau
melintasi persimpangan jalan yang ada lampu merahnya, atau berjalan di
trotoar di pusat kota, atau berada di keramaian, apa yang Anda temui di
sana? Ya, mungkin Anda melihat di sana ada pengemis-pengemis yang
bertebaran atau dalam pernyataan yang paling ekstrem kita katakan
’bergentayangan’. Mereka memang seperti hantu yang bergentayangan
menggoda manusia (orang lain) dalam penampakan yang berbeda-beda, ada
yang pura-pura cacat kakinya (buntung/lumpuh), ada yang mendandani
tubuhnya sehingga seolah-seolah mengidap sakit yang parah, menggunakan
bayi sewaan untuk memberi kesan ‘menderita’, ada pula yang hanya
memasang tampang melas, ada yang pura-pura buta, bahkan ada yang melakukannya dengan cara menodong orang demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Penampakan
semacam itu adalah hal yang sering kita saksikan di kota besar seperti
Surabaya ini. Surabaya memang menjadi pusat urbanisasi dan menjadi
magnet bagi orang-orang yang hendak mencari penghidupan. Di kota ini,
orang-orang yang memiliki keahlian dan keterampilan akan lebih mudah
mendapat tempat (pekerjaan), sedangkan bagi mereka yang minim
keahlian/keterampilan juga akan mendapat tempat, dengan syarat ada usaha
yang keras dan tak kenal menyerah untuk bertahan dalam persaingan yang
ketat. Ada pula orang-orang yang tidak memiliki apa-apa—bahkan motivasi
untuk berkarya sekalipun—yang mereka miliki hanya telapak tangan untuk
menadah uang hasil kerja orang lain, inilah orang-orang yang telah kita
bicarakan di muka, mereka yang selalu bergentayangan di sekitar kita,
tak kenal waktu dan tak kenal tempat.
Penelitian
tentang pengemis oleh Dr. Engkus Kuswarno (Penelitian Konstruksi
Simbolik Pengemis Kota Bandung ) menyebut ada lima ketegori pengemis
menurut sebab menjadi pengemis, yaitu:
- Pengemis Berpengalaman: lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif sebab).
- Pengemis kontemporer kontinu tertutup: hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinyu mengemis, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.
- Pengemis kontemporer kontinyu terbuka: hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan, karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang tersebut.
- Pengemis kontemporer temporer: hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu pemicu berkembangnya kelompok ini.
- Pengemis rerencana: berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara (kontemporer). Mereka mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.
Dari
hasil penelitian di atas, kita ketahui bahwa mengemis merupakan pilihan
yang tidak semata-mata disebabkan oleh keterhimpitan ekonomi
(kemiskinan) atau keterbatasan fisik (ketuaan/cacat tubuh)—dua hal yang
sering dijadikan alasan tindakan mengemis—yang kedua-duanya menyebabkan
hilangnya kesempatan kerja, akan tetapi juga disebabkan faktor lain,
seperti faktor tradisi suatu masyarakat yang menjadikan mengemis sebagai
profesi; kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan
peluang; dan kondisi musiman, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Namun demikian, penelitian tersebut ternyata tidak memperhitungkan
faktor individu sebagai makhluk yang memegang nilai-nilai hidup, dengan
kata lain, hasil penelitian tersebut hanya dirumuskan berdasarkan
penemuan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi individu, padahal
faktor yang paling mendasar sebagai sebab individu memilih untuk
mengemis atau tidak mengemis adalah nilai-nilai yang dihayati individu.
Boleh saja stimulus-stimulus eksternal mendorong individu untuk
melakukan sesuatu, akan tetapi kalau ia memegang kuat nilai-nilai yang
berlawanan dengan dorongan stimulus tersebut apa individu akan megikuti
dorongan stimulus? Hidup kita, pilihan-pilihan kita dan keputusan untuk
berbuat atau tidak berbuat, sesungguhnya sadar atau tidak sadar telah
melalui pertimbangan nilai-nilai yang kita hayati.
Tulisan
di bawah ini akan mencoba untuk membuktikan bahwa nilai-nilai yang
dihayati oleh individu adalah faktor yang esensial dan mendasar yang
dapat menjelaskan mengapa individu pada akhirnya memutuskan untuk
menjadi pengemis, bukan faktor kemiskinan; keterbatasan fisik; tradisi;
kekurangan sumber daya; apalagi hanya sekadar faktor musiman: menjelang
hari raya, kemarau, dan gagal panen.
Saya
sering menemui orang-orang yang menurut saya “luar biasa”, ketika
orang-orang seperti mereka dan bahkan yang lebih beruntung dari mereka
memutuskan menjadi pengemis, mereka justru dengan tegar, dan tak kenal
menyerah melakukan pekerjaan yang mungkin kita anggap remeh, namun jauh
lebih terhormat daripada mengemis. Dalam kesempatan ini, saya akan
mengisahkan pengalaman bertemu dengan tiga orang yang telah menggugah
dan menyadarkan saya akan kekuatan jiwa mereka. Di sekitar rumah saya
ada seorang kakek menjajakan koran menggunakan sepeda pancal, dengan
teriakannya yang khas, “Koooran…Jawa Pos…SuryaaMemoRadar…”, ia mencoba
menarik minat pelanggannya, begitu selalu setiap pagi. Saya seringkali
terharu melihat kakek ini, betapa luar biasanya ia, melakukannya tak
kenal menyerah setiap hari, entah berapa keuntungan yang bisa ia
dapatkan hanya dengan menjual koran yang tak seberapa banyak, dan
pembeli yang jarang-jarang itu.
Ada
juga seorang nenek yang selalu membuat saya terenyuh bila berpapasan
dengannya. Nenek ini penjual jenang yang setiap hari mengitari daerah
tempat tinggal saya, dari pagi hari, siang hingga sore hari. Sungguh
luar biasa bagi saya, dengan penuh ketegaran nenek ini mendorong
grobaknya dan dengan suaranya yang melengking ia memanggil calon
pembeli. Saya merasa takjub dengan kebesaran dan kekokohan jiwanya serta
penerimaannya pada dirinya, orang lain dan dunia. Betapa masa tuanya
harus diisi dengan berjualan makanan yang mungkin tidak terlalu banyak
hasilnya.
Suatu hari saya
naik bemo dari Surabaya ke Sidoarjo, seperti biasa, kendaraan yang saya
tumpangi itu berhenti di depan RSUD Sidoarjo untuk mencari penumpang.
Di sisi kiri jalan, saya lihat tepat di samping kendaraan itu orang tua
yang lumpuh kakinya, ia duduk di atas kursi roda, di pangkuannya ada
kotak besar berisi berbagai macam merek rokok, ia seorang penjual rokok
yang cacat. Saya benar-benar terharu melihatnya, ia sudah tua, kakinya
lumpuh pula, tapi ia tetap bisa berkarya. Bagi saya ia seorang pejuang
yang tak kenal menyerah atau pun rendah diri dengan cacat yang diderita,
ia bekerja dan tak mengharapkan belas kasih orang lain, ia sedang
berjuang untuk menegakkan dirinya sendiri.
Orang-orang
yang telah dikisahkan di atas adalah mereka yang mengalami
keterhimpitan ekonomi (kemiskinan) atau keterbatasan fisik
(ketuaan/cacat tubuh) yang mestinya menyebabkan hilangnya kesempatan
kerja, namun nyatanya mereka masih tetap mampu bekerja tanpa harus
meminta-minta. Oleh karena itu kedua faktor yang ditengarahi sebagai
faktor penyebab individu mengemis tersebut dengan sendirinya harus kita
katakan sebagai bukan sebab yang esensial dan mendasar mengapa seseorang
memilih menjadi pengemis. Kenyataan ini juga menegaskan bahwa faktor
tradisi; kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan
peluang; dan kondisi musiman, seperti ketika menjelang hari raya, adanya
kemarau serta gagal panen di daerah asal hanyalah pseudo-faktor
dari penyebab menjadi pengemis. Kegagalan individu dalam memaknai
kehidupannyalah yang membawa ia terjerumus ke dalam kesia-siaan tanpa
karya (baca: mengemis). Nietzsche berkata, ”Dia yang punya alasan untuk
hidup adalah dia yang yang berdiri tegak bertahan tanpa bertanya
bagaimana caranya”. Mereka yang merasa punya sesuatu untuk dituntaskan
di masa depan, mereka yang punya keyakinan kuat, memiliki kesempatan
yang lebih banyak daripada mereka yang kehilangan harapan.
Dalam
pandangan Frankl, kehidupan manusia bertujuan untuk menemukan makna
hidup. Makna hidup adalah nilai-nilai yang berharga dan dihayati yang
membuat seorang individu merasa berharga dan mempunyai alasan untuk
hidup dan menegakkan dirinya. Apabila manusia gagal untuk menemukan
makna hidupnya, maka ia akan mengalami neurosis eksistensial (noögenik),
yaitu keadaan seseorang ketika dalam hidupnya merasa hampa, tidak
bermakna, tanpa tujuan, tanpa arah dan seterusnya. Hal inilah yang bisa
menjelaskan mengapa seseorang yang sehat, segar dan bugar dapat memilih
menjadi pengemis. Sedangkan mereka yang berhasil menemukan makna
hidupnya, maka ia akan memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk
bertahan menegakkan dirinya, hal inilah yang dicontohkan oleh ketiga
individu yang dikisahkan di atas.
Alhasil, dari semua yang sudah kita bahas dapat disimpulkan bahwa keterhimpitan ekonomi (kemiskinan), keterbatasan fisik (ketuaan/cacat tubuh), faktor tradisi; kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang; dan kondisi musiman, seperti ketika menjelang hari raya, adanya kemarau serta gagal panen di daerah asal, bukan sebab yang esensial dan mendasar mengapa seseorang memilih menjadi pengemis. Ketidakmampuan individu dalam menemukan makna hiduplah yang menyebabkan ia mengalami keputus-asaan, kehilangan kepercayaan diri dan kehilangan kebebasan untuk berkarya tanpa harus mengharap belas kasihan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar